Bagikan Artikel
Reformasi 1998 ternyata hanya membawa kita pada demokrasi prosedural pasca Orde Baru. Di samping banyaknya kroniOrde Baru yang dibiarkan masih malang melintang di dunia politik dan bisnis, aktivis prodemokrasi dan masyarakat sipilgagap (dan kemudian gagal) dalam mengkonsolidasikan diri dari bawah. Ruang kebebasan pasca reformasi luputdikonversi menjadi kekuatan politik rakyat. Akibatnya ’demokrasi’ di Indonesia selama 20 tahun terakhir telah menjadiruang bagi segelintir oligark untuk mengakumulasi kekuasaan dan modal. Elitisme yang selama ini menghidupi oligark dan remnant Orde Baru, diterima dan dijabanin oleh masyarakat sipil sebagai metode pertarungan politik dan kebijakan. Rakyat dijadikan sekedar obyek dan diklaim dalam forum-forum advokasi, tanpa diberdayakan secara politik.
Demokrasi sejati bagi kami tidak sekedar dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi sebagai sistem kekuasaan juga tidak cukup dengan majority rule, namun harus ada minority rights. Untuk memastikan tirani mayoritas tidak terjadi, kuncinya ada pada kebebasan dan kesetaraan dalam berekspresi. Kebebasan dan kesetaraan mensyaratkan bukan saja jarak yang sama bagi semua warga dengan konstitusi, namun juga kemampuan/kapasitas masing-masing untuk menentukan nasib sendiri (self-determination).
Demokrasi harus memfasilitasi manusia politik untuk menggunakan etika sosial dan ekologi, bahwa manusia berpikir dan bertindak sebagai bagian dari masyarakat sekaligus bagian dari ekosistem lingkungan. Kebajikan (virtue) ini yang menjadikan manusia makhluk yang berpolitik, membedakan dirinya dengan makhluk lainnya yang tidak berpolitik dan hidup dengan kerakusan serta keserakahan.
Demokrasi semacam itulah yang kami bayangkan bakal mampu menghapus kesenjangan dan menciptakan kesetaraan, baik sosial maupun ekologis: demokrasi yang menjadi ruang percakapan para makhluk yang berpolitik, yang menjadikan politik sebagai jalan untuk kebaikan bersama.