Bagikan Artikel
Masyarakat Indonesia sudah terlalu lama menunggu langkah nyata dari pemerintah untuk membenahi kepolisian. Di bawah kekuasaan Jokowi, Polri berkembang menjadi alat politik untuk melayani kepentingan penguasa dengan kewenangan dan anggaran jumbo tanpa pertanggung jawaban. Dampaknya nyata: polisi berulang kali terlibat dalam kekerasan dan pembunuhan warga tanpa konsekuensi berarti. Maraknya tuntutan dan tekanan publik bagi reformasi Polri paska aksi massa Agustus Kelabu dan terbunuhnya pengemudi ojol Affan Setiawan memberikan momentum bagi Presiden Prabowo untuk mengumumkan pembentukan Tim Reformasi Kepolisian. Harapan sempat tumbuh bahwa negara akhirnya siap menempuh jalan terjal yang selama ini dihindari.
Rendahnya akuntabilitas serta tingginya impunitas adalah masalah utama yang menggerogoti kredibilitas Polri dan harus menjadi jantung reformasi kepolisian yang harus ditegakkan oleh tim tersebut. Namun harapan untuk perubahan itu segera sirna begitu daftar nama anggota Tim Reformasi Kepolisian diumumkan pada Jumat, 7 November 2025. Dari sepuluh anggota tim, empat di antaranya adalah perwira Polri—tiga mantan Kapolri di era Jokowi dan satu Kapolri (pilihan Jokowi) yang masih aktif menjabat. Tak ada suara kritis dari luar pagar. Tak satupun akademisi independen, tak ada perwakilan masyarakat sipil, tak ada satu pun suara independen dari luar lingkar kekuasaan. Tim ini, sejak awal, bukan cerminan keberanian pemerintah melakukan terobosan namun hanyalah upaya tanpa nyali untuk memperpanjang kebuntuan
Meski langkah Presiden Prabowo ini bukan kejutan, tapi tetap menyisakan kekecewaan. Ia memilih mengulang pola lama: menutup telinga dari kritik dan menyerahkan urusan reformasi kepada orang-orang yang selama ini justru menjadi bagian dari masalah. Padahal, Presiden Prabowo memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa pemerintahannya berbeda dari pendahulunya, bahwa ia mampu memperbaiki kebobrokan demokrasi yang diwarisi rezim Jokowi. Ia semestinya mengambil peluang untuk mewujudkan reformasi kepolisian yang sesungguhnya, dengan memastikan prosesnya bebas dari campur tangan dan kepentingan mereka yang di dalam. Tapi alih-alih mengambil langkah berani, Presiden Prabowo justru membiarkan kesempatan itu lewat begitu saja.
Bagi Kurawal, ini adalah bentuk nyata konflik kepentingan. Mustahil lembaga yang sedang dikritik diberi kuasa untuk menilai dan membenahi dirinya sendiri. Persoalan utama Polri bukan hanya soal kedisiplinan, tapi cara kekuasaan dijalankan tanpa integritas, profesionalisme, dan rasa kemanusiaan. Ini juga bukan semata soal lemahnya pengawasan publik, tapi tentang budaya kekuasaan yang membuat aparat merasa tak perlu mempertanggungjawabkan tindakannya pada siapa pun.
Keputusan ini juga memperlihatkan betapa jauh Presiden Prabowo melenceng dari semangat Asta Cita, janji yang ia buat sendiri, terutama janji untuk menegakkan hukum berkeadilan dan membangun sistem keamanan yang modern serta manusiawi. Bukannya memperkuat prinsip keadilan dan mengembalikan kepolisian pada fungsinya sebagai lembaga sipil, Presiden Prabowo justru terlihat akan mengukuhkan Polri sebagai alat kekuasaan yang kebal dari koreksi publik.
Reformasi kepolisian tidak akan pernah lahir dari tim yang sejak awal kehilangan independensinya. Jika pemerintah sungguh ingin memperbaiki keadaan, langkah pertama adalah membentuk ulang tim reformasi dengan komposisi yang mencerminkan integritas dan keberagaman—melibatkan masyarakat sipil dan akademisi. Selain itu, mandat tim harus jelas, terbuka, dan bisa dinilai publik: apa tujuannya, sejauh mana kewenangannya, dan dalam berapa lama hasilnya bisa dilihat. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, yang disebut “reformasi” hanya akan menjadi formalitas—pengulangan dari kegagalan yang sama.
Presiden Prabowo, nyali memang tidak dapat dibeli, tapi anda tidak dipilih untuk menjaga warisan lama yang telah usang. Reformasi kepolisian adalah ujian awal kepemimpinan Anda—apakah Anda berani menempatkan keadilan di atas kenyamanan kekuasaan, atau justru memilih melanjutkan pola lama yang membuat rakyat terus kehilangan kepercayaan pada negara. Apakah Anda memilih jalan aman, atau jalan yang benar. Janji Anda sudah tertulis jelas dalam Asta Cita; yang ditunggu publik sekarang bukan kata-kata, tapi keberanian untuk menepatinya—menjadikan kepolisian benar-benar bekerja untuk melindungi warga, bukan kekuasaan.