Bagikan Artikel
Hanya hitungan jam setelah laporan investigasi proyek jalanan di Lampung tayang, Derri Nugraha, jurnalis Konsentris, mendapat kabar bahwa sepeda motornya akan dibakar. Nomor-nomor tak dikenal juga menghubunginya. Malam itu juga, dia harus mengungsi ke rumah aman. Ancaman semacam ini sebetulnya bukan hal baru bagi Konsentris. Derri bahkan pernah diserang aparat saat meliput penggusuran warga di Tanjung Bintang, Lampung Selatan, pada 12 Februari 2025. Ia dikeroyok, dipukul, dan dipaksa berhenti bekerja.
Meski baru empat tahun berdiri, liputan mendalam dan investigasi yang mereka terbitkan acap membuat pemerintah di Lampung kebakaran jenggot, baik di tingkat kota maupun provinsi. Berbagai siasat dilakukan untuk meredam publikasi Konsentris, dari pengawasan aktivitas jurnalis, tawaran advertorial atau amplop untuk ”membeli” redaksi, hingga intimidasi langsung. Semua itu memperlihatkan satu hal bahwa setiap kali Konsentris mengangkat suara warga, risikonya selalu berhadapan langsung dengan kekuasaan. Tapi, serangan-serangan itu tak lantas membuat mereka mundur, justru semakin meneguhkan pilihan jalan jurnalistik yang telah dipilih, yang berbeda dari kebanyakan media di Lampung.
“Kebanyakannya cuman ‘jurnalisme ludah’ yang hanya menelan mentah-mentah apa yang diungkap oleh penguasa. Kami [Konsentris] mengambil rute yang berbeda. Memberi ruang sebesar mungkin pada mereka yang suaranya dibungkam,” ungkap Derri.
Yang membuat Konsentris berbeda dari kebanyakan media di Lampung bukan hanya keberpihakan mereka, tapi juga skala redaksi. Media ini hanya punya dua jurnalis. Selain Derri, ada Hendry Sihaloho, yang juga bertanggung jawab sebagai pemimpin redaksi. Perkara produksi, dari liputan lapangan, pengambilan foto, penyuntingan artikel, bahkan hingga perancangan visualisasi data dan publikasi di situs web, mereka berdua yang menggarapnya. Namun, keterbatasan ini tidak menjadikan mereka sebatas tungau di kaki media-media besar Lampung. Justru sebaliknya, Konsentris lah yang selalu membuat penguasa kelabakan.
Situasi Konsentris itu mirip dengan Luffy dan kru Bajak Laut Topi Jerami dalam kisah One Piece. Mereka memang kecil jumlahnya, tapi punya keberanian tinggi karena percaya pada kekuatan yang mereka punya. Mereka punya sikap dan posisi yang jelas saat berhadapan dengan ketidakadilan. Kelompok ini berulang kali menantang Pemerintah Dunia—struktur oligarki yang mengatur segalanya dengan Marine sebagai palu kekuasaan. Seperti Bajak Laut Topi Jerami, Konsentris paham kalau pertarungan mereka timpang, namun justru dari ketimpangan itulah lahir tekad untuk membongkar ilusi kuasa dan memberi ruang bagi suara warga yang dibungkam.
Konsentris lahir dari tekad untuk memberi ruang bagi suara yang sering dibungkam. Nama media ini terinspirasi dari teori “concentric circles” dari pengajar jurnalisme David Protess yang menekankan urutan prioritas dalam liputan. Inti teorinya sederhana liputan perlu dimulai dari dokumen atau laporan media lain, kemudian dilanjutan dengan memeriksa dokumen resmi dan kesaksian, mewawancarai korban atau saksi, dan terakhir menanyai pihak yang paling bertanggung jawab atau terkait langsung. Prinsip utamanya dari teori ini adalah jangan percaya begitu saja, datangi sumbernya langsung, jangan hanya mengandalkan pejabat, periksa semua kemungkinan, dan lakukan secara sistematis.[1] Pendekatan ini memastikan cerita akurat, mendalam, dan tetap fokus pada mereka yang terdampak, sekaligus menghadirkan perspektif yang sering diabaikan.
Kini, dengan tiga rubrik utama—HAM, Lingkungan, dan Humaniora—Konsentris tetap menegaskan misinya. “Kami berupaya menyokong kebenaran dengan jurnalisme yang independen. Menaruh perspektif pada korban ketidakadilan,” kata Hendry.
Bagi Konsentris, menjadi jurnalis berarti berdiri di sisi masyarakat yang selama ini suaranya dibungkam oleh kekuasaan. Mereka melihat langsung bagaimana politik kuasa media—seperti yang dijelaskan Noam Chomsky—terjadi di Lampung, di mana informasi sering disaring untuk memperkuat dominasi penguasa dan korporasi, bukan mewakili kepentingan publik. Dalam situasi ini, pilihan terbaik adalah berpihak pada gerakan masyarakat sipil, mendukung warga yang berjuang mempertahankan hak-haknya. Mereka tidak hanya meliput, tapi juga turun langsung bersama perempuan Desa Malangsari yang mempertahankan lahan mereka, atau menemani anak-anak jalanan, pengamen, dan gelandangan yang menjadi korban kekerasan aparat.
Warga tidak sekadar menjadi karakter di dalam produk-produk jurnalistik Konsentris. Mereka ikut menghidupkan ruang-ruang yang memperkuat suara yang terpinggirkan. Saat Konsentris membuat dokumenter Tandur, yang menggambarkan kehidupan petani di Lampung dan ketimpangan dalam sektor pertanian, para petani narasumber tidak hanya muncul di layar, tetapi juga ikut mengorganisir pemutaran film di Lampung Timur, Lampung Selatan, Pesawaran, hingga Lampung Tengah. Pemutaran ini bukan sekadar menonton film, tapi menjadi ruang bagi masyarakat untuk berdialog, berbagi pengalaman, dan memperkuat solidaritas.
“Di manapun kami melakukan peliputan, komunitas lah teman kami sebenarnya. Mereka yang memberikan semacam ‘kayu bakar’ bagi kami untuk terus bertahan. Mereka yang menguatkan newsroom mungil ini ketika mendapat teror-teror dan serangan,” imbuh Derri.
Laku Lancung Aparat dan Keberanian dari Redaksi Mungil
Perjalanan Konsentris mengekspos penyalahgunaan kekuasaan tidak terbatas pada pemerintah kota atau provinsi. Mereka juga menyoroti praktik-praktik kekerasan berlebihan oleh aparat.
“Kinerja polisi sebagai salah satu alat instrumen kekuasaan [tak terkecuali di Lampung] saat ini super power. Karena dia bisa digunakan oleh korporasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu juga. Yang kadang bersinggungan dengan hak hidup orang banyak mulai dari petani, nelayan, dan masyarakat secara umum,” urai Derri.
Salah satu liputan investigasi yang Konsentris terbitkan adalah soal kasus extrajudicial killing atau pembunuhan oleh aparat di luar keputusan pengadilan yang terjadi di Marga Sekampung, Lampung Timur. Di sana, pada akhir Maret 2024, polisi memaksa masuk ke rumah Romadhon, seorang warga yang mereka duga pelaku begal. Tanpa basa-basi atau memperkenalkan diri, mereka berteriak memanggilnya. Saat Romadhon muncul, sebelum sempat ditanya apa-apa, salah satu polisi menyorotkan senter ke wajahnya dan menembaknya di perut dari jarak dekat. Istri dan ibunya berusaha menolong, tapi dijambak dan ditendang. Romadhon kemudian diseret ke mobil polisi tanpa surat penahanan. Beberapa jam kemudian, keluarga menerima kabar dari kepala desa bahwa Romadhon telah meninggal dan jenazahnya dibawa ke RS Bhayangkara Polda Lampung.
Beberapa hari kemudian, lewat siaran pers, polisi mengklaim Romadhon ditembak karena melawan, memperlihatkan senjata rakitan dan sejumla peluru tak terpakai. Media di Lampung sebagian besar menulis berita peristiwa ini hanya berdasarkan ucapan polisi, tapi tidak dengan Konsentris.
“Banyak media Lampung memberitakan kasus itu hanya bersumber dari narasi tunggal kepolisian. Mereka meminggirkan elemen-elemen dasar prinsip jurnalisme[...] jurnalisme itu sangat lancung,” pungkas Derri.
Derri, yang kala itu meliput kasus ini, menemui keluarga, berdiskusi dengan LBH Bandar Lampung yang menjadi kuasa hukum, dan menelusuri fakta. Dari sana terungkap dugaan bahwa polisi melakukan rekayasa kasus. “Kepolisian membunuh dan memfitnahnya. Kepolisian membunuhnya dua kali,” tegasnya.
Meski beberapa anggota polisi akhirnya didemosi atau dipecat, langkah itu jauh dari hukuman yang setimpal. Keluarga korban tetap menghadapi ketidakpastian, karena pelaku tidak dibawa ke peradilan umum atau pidana. Ketiadaan transparansi dalam penegakan hukum membuat mereka sulit memperoleh kepastian hukum dan keadilan.
Menurut Derri, keberanian Konsentris mengungkap berbagai penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang lumrah. Media-media semestinya bersandar pada kepentingan publik; bukan pada iklan, advertensi yang menyusupi redaksi, hingga kerjasama dengan kekuasaan.
Konsentris memang redaksi mungil di hadapan Goliath industri media hari ini. Namun itu bukan menjadi halangan bagi mereka untuk terus mengekspos mereka yang selama ini dibungkam di banyak laporan. “Liputan-liputan Konsentris tentu akan memberikan perspektif, warna, dan pandangan lain dari dinamika sosial yang terjadi [di Lampung],” tutup Derri.
[1] Tom Rosenstiel, ”The Protess Method of verification,” The Essentials of Journalism, https://www.tomrosenstiel.com/essential/protest-method-verification/
***
Konsentris adalah media independen di Lampung yang berfokus pada jurnalisme mendalam dan investigatif. Mereka menggali isu-isu penting, mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, dan memberi ruang bagi suara-suara yang kerap terabaikan. Dukung jurnalisme independen di Lampung dengan membaca karya mereka di https://konsentris.id/
Baca kisah berani mereka Lainnya.