Potret Keberanian

Bagikan Artikel

Dari Meja Redaksi ke Panggung Perlawanan Warga

BandungBergerak | 31 Jul 2025

Tak hanya menjambak rambut dan memukul badan Rajul, polisi juga mengancam akan membunuhnya pada satu malam jahanam di Dago Elos, Agustus 2023 silam. Kartu pers BandungBergerak yang Rajul bawa pun tak bisa menghentikan hantaman bertubi aparat ke area perut, paha, dan lengannya.

Awla Rajul, jurnalis BandungBergerak, adalah satu dari dua wartawan yang menjadi korban kebrutalan anggota kepolisian saat pengepungan oleh polisi di Dago Elos. Di tengah rasa sakit dan napas yang tercekat karena gas air mata, di antara pecahan kaca dan batu yang berserak di jalanan Juanda, Rajul bertahan bersama warga. Dia juga menjadi saksi dan mencatat bagaimana polisi menyerang warga. Banyak yang terluka, sesak napas, dan mengalami trauma akibat peristiwa itu.

Pengepungan itu tak luput dari sorotan media. Dari portal lokal hingga surat kabar nasional, semua menulis tentang perlawanan warga dan perjuangan panjang mereka menghadapi bayang-bayang penggusuran. Tapi bagi BandungBergerak, kisah Dago Elos bukan sekadar bahan liputan. Sejak berdiri pada Maret 2021, media ini memilih untuk hadir lebih dekat, bukan hanya sebagai peliput berita, tapi juga sebagai bagian dari simpul solidaritas.

Komitmen BandungBergerak untuk berdiri bersama warga, bisa kita lihat dari bagaimana mereka melampaui kerja-kerja jurnalistik itu sendiri. Di Dago Elos, BandungBergerak menggelar kelas pelatihan advokasi bagi warga untuk membongkar struktur kekuasaan yang mengancam ruang hidup warga Dago Elos. Bersama warga, BandungBergerak juga mengurai peta konflik agraria di Kota Bandung dan menyusun strategi perlawanannya.

Apa yang BandungBergerak lakukan di Dago Elos bukan pengecualian, tapi cermin dari cara mereka bekerja di banyak sudut Bandung Raya. Mereka tak datang sekadar untuk meliput, lalu pergi. Mereka hadir, mendengarkan, dan memilih untuk terlibat. Mereka menjadi bagian dari gerakan, bukan sekadar pencatatnya. Di berbagai kampung yang terancam gusur, di tengah warga yang berjuang atas ruang hidup, BandungBergerak menjalin hubungan yang melampaui jarak antara pewarta dan narasumber. Di tangan BandungBergerak, cerita-cerita warga dan solidaritas bisa jadi kerikil tajam di halaman pemerintah kota yang gemar bersolek dengan agenda ekskavatorisnya.

BandungBergerak tahu betul, yang membuat mereka bertahan sejauh ini bukan sekadar pendanaan yang masuk ke kantong redaksi. Bahan bakar utama mereka adalah komunitas yang selama ini melangkah sejalan dan warga yang punya mimpi sama – hidup tanpa cemas terusir dari tanah tempat mereka berpijak, termasuk warga miskin kota yang bertahun-tahun harus berhadapan dengan ancaman penggusuran.

“Tidak masuk akal bagi saya ketika ada media lokal atau alternatif yang tidak melibatkan komunitas[...] Kita mesti tahu wajah mereka, tahu siapa yang membaca kita, tahu siapa yang mendukung kita. Itu bagian yang tak terpisahkan. Yang juga jadi bayangan awal membentuk BandungBergerak,” urai Tri Joko Her Riadi, Pemimpin Redaksi BandungBergerak.

Keputusan untuk mengambil ”rute” itu bukan tanpa alasan. Menurut Joko (sapaan akrab pemimpin redaksi BandungBergerak itu), sebagian besar media di Bandung, bahkan media nasional, lebih sering memberi ruang bagi kepentingan kuasa.

“Media yang memberi ruang bagi komunitas atau kelompok-kelompok rentan sulit ditemukan bahkan di media-media besar. Itu alasan utama kami membentuk BandungBergerak,” imbuhnya.

Saking pentingnya komunitas bagi BandungBergerak, media ini bahkan punya satu posisi yang jarang ditemukan di redaksi media lain, terlebih media lokal: seseorang yang memang ditugaskan khusus untuk membangun hubungan dengan komunitas. Bukan reporter. Bukan editor. Ia tidak meliput demo, tidak menulis berita. Kerjanya sehari-hari adalah menjumpai orang-orang yang mungkin tak pernah masuk headline – warga kampung kota, kolektif anak muda, kelompok akar rumput – dan mencari peluang untuk berkolaborasi.

Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak


Festival Bandung Menggugat: Wujud Keberpihakan pada Kelompok Marginal dan Titik Temu Solidaritas

BandungBergerak tak hanya melaporkan perlawanan. Mereka menjadi bagian darinya. Dari Dago Elos yang terus dipertahankan warganya, Tamansari yang diratakan atas nama proyek, hingga desa-desa yang perlahan kehilangan tanah dan suara di pinggiran kota, redaksi ini memilih berada di sisi yang kerap dibungkam. Tapi mereka paham betul bahwa keberpihakan tidak cukup bila dibiarkan sunyi. Maka, lahirlah Festival Bandung Menggugat.

Digelar April 2025 di Dago Elos, festival ini tumbuh dari keresahan bersama atas kota yang makin sempit bagi warganya, atas demokrasi yang makin elitis, dan atas ruang hidup yang menyusut pelan-pelan. Festival ini juga tumbuh dari harapan, dari keberanian, dan dari keinginan untuk saling merawat. Bukan sekadar panggung hiburan atau seremoni simbolik, Bandung Menggugat adalah hasil dari perjalanan panjang yang ditempuh BandungBergerak bersama komunitas dan mahasiswa, dari diskusi lintas kampus, kelas menulis, sayembara esai, hingga peluncuran buku Mahasiswa Bersuara.

“Bagi BandungBergerak, Festival Bandung Menggugat ini menjadi penegasan sikap dan keberpihakan pada kelompok marginal dan isu-isu kritis. Festival ini pada kenyataannya juga menjadi momen memperkuat konsolidasi warga Dago Elos dalam merumuskan langkah-langkah perlawanan berikutnya. Sekaligus menjadi wadah silaturahmi di antara titik-titik api lain, termasuk Sukahaji,” ujar Joko.

Lewat festival ini, BandungBergerak mengingatkan bahwa media tidak cukup hanya hadir sebagai mata yang mengamati dari kejauhan. Ia perlu jadi tubuh yang turut merasakan, telinga yang sungguh mendengar, dan tangan yang ikut merawat apa yang tumbuh di tengah-tengah perlawanan: keberanian untuk bersuara, kepercayaan yang dibangun dalam luka, dan ikatan yang lahir dari upaya bersama menjaga kota agar tetap ramah bagi warganya, bukan hanya investor atau penguasa.

Bagi mereka, menulis bukan soal jadi yang pertama memberitakan. Tapi soal siapa yang akhirnya terdengar. Karena di dunia yang kerap berpihak pada yang kuat dan nyaring, suara-suara kecil hanya bisa bertahan jika ada yang memilih untuk benar-benar berpihak, dengan kerja yang tekun, dengan keberanian yang jujur.

Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak

***

 

BandungBergerak adalah media alternatif berbasis di Bandung yang memberikan prioritas pada kelompok-kelompok pinggir dan isu-isu yang jarang diangkat. BandungBergerak berkomitmen untuk mempraktikkan jurnalisme bermutu dalam kerja bersama komunitas. Visi misi BandungBergerak adalah menjadi rujukan utama diskusi kritis yang mengedepankan isu-isu marginal dalam upaya kolektif demi masyarakat Bandung yang lebih baik. Dukung BandungBergerak dengan membaca beragam liputan mereka di https://bandungbergerak.id/.