Bagikan Artikel

Perjalanan Demokrasi Indonesia di Satu Tahun Pertama Prabowo–Gibran

Laporan | 29 Oct 2025

Satu tahun telah berlalu sejak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Kata keberlanjutan menjadi pesan utama yang mereka bawa—melanjutkan pembangunan ekonomi, memperkuat infrastruktur, dan menjaga stabilitas. Namun setelah setahun, pertanyaan yang mengemuka bukan lagi apakah program berjalan, melainkan: apa yang sesungguhnya sedang dilanjutkan, dan ke mana arah keberlanjutan itu membawa demokrasi Indonesia.


Melalui Asta Cita, delapan agenda besar pembangunan nasional, pemerintahan baru berikrar memperkokoh demokrasi, menegakkan hukum yang berkeadilan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Janji itu menjadi kompas moral sekaligus tolok ukur sejauh mana demokrasi yang dijanjikan benar-benar tumbuh di tengah arus besar kesinambungan kekuasaan.


Bagi Kurawal, peringatan satu tahun pemerintahan bukan sekadar momentum seremonial. Ia adalah ruang refleksi untuk menakar arah perjalanan demokrasi Indonesia—apakah bergerak menuju perbaikan, atau justru tertahan dalam kebiasaan lama yang menempatkan stabilitas di atas partisipasi warga.


Selama satu dekade terakhir, ruang demokrasi kita menyempit. Hukum kerap digunakan untuk membungkam, aparat keamanan dijadikan alat politik, dan partisipasi publik semakin dibatasi. Pemerintahan Prabowo–Gibran mewarisi situasi ini beserta cara pandang yang menekankan ketertiban di atas keberagaman suara. Karena itu, Kurawal menyusun “Penilaian Kinerja Satu Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo–Gibran: Menakar Perjalanan Demokrasi” sebagai upaya membaca ulang bagaimana kekuasaan baru bekerja di tengah warisan yang belum dibereskan.

Penilaian kami berfokus pada tiga simpul utama yang menentukan arah dan mutu demokrasi Indonesia:

  1. Reformasi Kepolisian – apakah Polri telah menjalankan mandat sipilnya untuk melindungi warga, bukan sekadar menjaga stabilitas politik.
  2. Penanganan Konflik di Papua – bagaimana negara menghadirkan keadilan dan kemanusiaan di wilayah yang telah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang kekerasan.
  3. Reformasi Sektor Hukum – sejauh mana hukum kembali pada prinsip keadilan dan transparansi, alih-alih menjadi instrumen kekuasaan.
    Ketiga isu ini menjadi cermin untuk menilai sejauh mana Asta Cita benar-benar dijalankan: apakah sebagai peta perubahan, atau hanya pembungkus baru bagi kesinambungan kekuasaan lama.


Kurawal menggunakan pendekatan yang lebih reflektif dibanding sekadar penghitungan angka atau indeks. Penilaian dilakukan melalui metafora perjalanan—dari macet, padat tersendat, hingga ramai lancar—untuk menilai arah, bukan sekadar hasil. Analisis ini memadukan data publik, laporan masyarakat sipil, survei opini, dan penelusuran kebijakan sepanjang tahun pertama pemerintahan.


Temuan Kurawal menunjukkan pola yang akrab dengan masa lalu. Janji reformasi belum menjelma dalam tindakan nyata, sementara praktik lama justru bertahan dengan rupa yang lebih rapi. Selama tahun pertamanya, pemerintahan Prabowo–Gibran masih tertahan di jalur yang sama—reformasi kepolisian belum menyentuh akar impunitas, politik hukum tetap mudah dibelokkan oleh kepentingan kekuasaan, dan Papua terus diperlakukan dengan pendekatan keamanan ketimbang kemanusiaan. Di permukaan, situasi tampak bergerak, namun sesungguhnya penguatan demokrasi di satu tahun pertama Prabowo–Gibran berada di titik “padat tersendat”, di mana ruang publik mengecil, kritik dibatasi, dan koreksi dari warga kerap dibalas dengan represi. 


Pemerintahan Prabowo–Gibran kini memasuki persimpangan yang menentukan. Ia bisa tetap bertahan dalam bayang-bayang warisan Jokowi yang menormalisasi penyempitan ruang sipil, atau memilih jalannya sendiri—mengembalikan Asta Cita sebagai kompas untuk memperkuat demokrasi yang substantif.

Kurawal merekomendasikan tiga langkah strategis untuk membangun momentum perubahan:

  1. Melakukan reformasi menyeluruh terhadap kepolisian.
    Rendahnya akuntabilitas dan tingginya impunitas harus menjadi fokus utama pembenahan Polri. Komite Reformasi Polisi yang dibentuk Presiden perlu diisi figur independen dan kompeten, dengan mandat jelas serta dukungan politik yang kuat. Pemerintah harus berani menjalankan rekomendasi reformasi secara konsisten dan melakukan perombakan struktural agar Polri kembali pada mandat sipilnya.
  2. Menerapkan paradigma kebijakan politik ekonomi baru yang tidak bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam dan pendekatan keamanan di Papua.
    Pemerintah perlu meninggalkan pendekatan berbasis ekstraksi sumber daya dan kekerasan negara yang justru memperdalam konflik. Penghentian operasi militer menjadi langkah awal menuju jeda kemanusiaan—membuka akses bagi bantuan sipil, memulihkan kehidupan warga terdampak, dan membuka jalan bagi dialog politik yang damai dan setara.
  3. Melakukan pembenahan mendasar dalam reformasi hukum. 
    Pemerintahan Prabowo–Gibran perlu mengakhiri politisasi hukum dan mengembalikan keadilan pada prinsip kemanusiaan. Langkah simbolik yang paling kuat adalah membebaskan tahanan politik (tapol), termasuk yang ditangkap pasca Agustus Kelabu dan tapol Papua, serta menghentikan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidanga (KUHAP) yang bermasalah. Hukum harus kembali menjadi pelindung warga, bukan alat kekuasaan.


Kurawal percaya, setiap rezim diuji bukan oleh seberapa keras ia mempertahankan kekuasaan, melainkan oleh sejauh mana ia bersedia memperbaikinya. Tahun pertama pemerintahan ini menunjukkan bahwa keberlanjutan tanpa koreksi hanya akan mengabadikan kebuntuan; demokrasi yang tak dirawat dengan keberanian akan terus padat tersendat di titik yang sama. 


Presiden Prabowo, Anda bukanlah Joko Widodo. Berdiam dalam bayang-bayang tentulah nyaman, Namun Anda dipilih dan dilantik tidak untuk bermain sandiwara. Saatnya Anda meretas arah kebijakan yang baru bagi Indonesia.

 

 

Judul:Menakar Perjalanan Demokrasi: Penilaian Kinerja Satu Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran
Penerbit:Yayasan Kurawal
Jumlah Halaman:61 halaman
Tahun Terbit:2025
Bahasa:Indonesia