Bagikan Artikel
Damai sering kali datang dengan janji: keadilan, rekonsiliasi, dan masa depan tanpa konflik. Namun di Aceh, hampir dua dekade setelah perjanjian damai diteken, janji itu masih menyisakan syarat terselubung: jangan bicara soal masa lalu.
Lewat publikasi Cerita-Cerita Setelah Damai, LBH Banda Aceh dan sinarpidie.co mengangkat kisah-kisah yang selama ini tersingkir dari narasi resmi. Ini bukan sekadar pengingat luka lama, tapi usaha kolektif untuk menyingkap bagaimana kekerasan tidak pernah benar-benar berlalu. Ia tetap bersemayam — di ingatan yang tak pernah benar-benar hilang, di tubuh yang menyimpan trauma, dan di struktur kekuasaan yang berulang kali mempertahankan dirinya.
Laporan ini menunjukkan bagaimana kekerasan di Aceh bekerja secara sistematis, melibatkan militer, korporasi, birokrasi, dan media yang diam. Aparat yang dulu menyiksa kini masih mengenakan seragam yang sama, sementara pelaku bisnis yang mengeksploitasi sumber daya saat konflik, melanjutkan praktek itu dengan legitimasi baru. Kekerasan berganti rupa, tapi rantai kuasanya tetap berputar.
Publikasi ini lahir dari keyakinan bahwa membuka ruang bicara soal kekerasan bukan sekadar mengungkit luka lama, melainkan memastikan luka itu tidak diwariskan lagi. Bahwa ingatan bukan untuk dilupakan demi stabilitas semu, tapi untuk menjadi dasar perubahan.
Kurawal percaya, melawan amnesia kolektif bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan. Hanya dengan kerja bersama, kebenaran yang selama ini disembunyikan bisa diungkap dan suara yang dibungkam bisa didengar. Tanpa keberanian membuka ruang bagi ingatan dan keadilan, janji masa depan hanyalah ilusi yang dibangun di atas penderitaan yang terus berulang.
Judul: Cerita-cerita Setelah Damai: Laporan LBH Banda Aceh dan sinarpidie.co
Penulis: Firdaus dan Diky Zulkarnaen
Penyunting: Azhari Aiyub
Cover & Artwork: Idrus bin Harun dan Iswadi Basri
Tata Letak: Zulham Jusuf
Penerbit: LBH Banda Aceh
Jumlah Halaman: 87 halaman
Tahun Terbit: Mei 2024
Bahasa: Indonesia